Oleh: bloksaya | April 17, 2010

Syubhat tentang Bid’ah #2

Notes:

Bismillahirrohmanirrohim. Tulisan ini tidak dibuat kecuali dengan niat mengharapkan kebaikan dari Alloh. Apabila terdapat kata-kata yang menyinggung pembaca, penulis meminta maaf. Sebaiknya, hilangkan segala asumsi sebelum Anda memulai membaca karena sebuah gelas tidak akan bisa diisi air bila telah terisi penuh. Gunakanlah hati Anda, hilangkan segala bentuk emosi dan buruk sangka. Mudah-mudahan Alloh memberikan hidayah kepada saya dan pembaca yang budiman.

Syubhat-syubhat mengenai bid’ah

Sebagian (tentu tidak semua karena tidak jarang sebagian yang lain hanya ikut-ikutan) orang-orang yang berbuat bid’ah begitu bencinya kepada orang-orang yang berusaha menegakkan sunnah. Sungguh disayangkan, sebagian dari para pembela bid’ah itu adalah mereka yang telah memiliki gelar-gelar luar biasa, seperti doktor atau profesor. Sebagian mereka pun dikenal dengan sebutan cendikiawan muslim. Sangat disayangkan, gelar-gelar itu hanyalah sebatas gelar, tanpa ada pertanggungjawaban secara keilmuan.

Jika kita melihat perkembangan yang ada di negeri kita (mungkin tidak di semua wilayah sama, tetapi ini yang saya lihat di kampung halaman saya), kita akan melihat sebuah tahapan bagaimana mereka menolak dalil-dalil yang tegas mengenai haramnya bid’ah. Mereka memang tidak menolak istilah sunnah, bahkan sebagian mengaku ahlussunnah meskipun mereka melakukan (dan membela) berbagai kebid’ahan. Yang mereka lakukan adalah menolak istilah bid’ah itu dengan berbagai cara. Sebabnya, seandainya apa yang biasa mereka perbuat (dan bela) tersebut divonis sebagai bid’ah, hilanglah gelar ahlussunnah bagi mereka. Padahal, tidak syak lagi bahwa kebenaran itu hanya ada pada ahlussunnah (hal ini tampaknya juga menjadi salah satu bukti pendapat sebagian ahli ilmu yang menyebutkan bahwa pada mulanya Islam yang ada di negeri kita adalah Islam yang sesuai dengan sunnah (atau setidaknya Syafi’iyyah yang sesuai dengan aqidah Imam asy-Syafi’i) sehingga istilah ahlussunnah pun kemudian didentikkan kepada kebenaran, sesuai dengan yang seharusnya. Namun, pada perkembangannya, sunnah ditinggalkan, dan hadirlah bid’ah-bid’ah yang menggantikan posisi sunnah.)

Dulu, ketika saya masih kecil, saya lihat (di lingkungan saya sendiri) manusia begitu keras menolak istilah bid’ah itu sendiri. Yang saya lihat, seolah-olah mereka mengingkari istilah bid’ah padahal hal tersebut jelas tersebut dalam dalil-dalil yang shohih. Jika dikatakan kepada mereka, misalnya, “Jangan melakukan kebiasaan memperingati 40 hari kematian, itu bid’ah,” mereka menjawab, “Ini bukan bid’ah.”

Pada perkembangan selanjutnya, dengan didukung kemudahan berkomunikasi, mulailah mudah kita temukan berbagai literatur dan media lain yang berasal dari luar negeri ini yang membahas masalah pemurnian agama dari syirik dan bid’ah, walillahilhamd. Ditambah lagi mulai banyaknya lulusan dari Universitas Islam Madinah dan yang lainnya, kabut yang dibuat oleh para pembela bid’ah pun mulai luntur karena cahaya ilmu. Namun, mereka tidak berhenti sampai di situ. Mulailah mereka bersama pemikir-pemikir mereka membuat kabut baru, istilah bid’ah hasanah (atau istilah lain yang semakna). Mereka mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang baik, ada pula yang buruk. Mereka pun (setelah menyadari bahwa manusia mulai paham bahwa agama ini berdasarkan dalil) tidak jarang menggunakan dalil-dalil, mulai dari yang palsu sampai yang shohih, tetapi mereka simpangkan maknanya. Jadi, jika dikatakan kepada mereka, misalnya,”Jangan melakukan kebiasaan memperingati 40 hari kematian, itu bid’ah,” mereka menjawab, “Ini memang bid’ah, tetapi bid’ah yang baik.”

Mereka kemudian menyebarkan kabut ini di tengah kaum muslimin. Mereka mengatakan, “Jika semua bid’ah itu sesat, bagaimana dengan mobil yang Anda kendarai, ponsel yang Anda gunakan, komputer, dan sebagainya itu?”

Mereka juga berdalil dengan sebuah riwayat shohih mengenai ucapan Umar bin Khoththob ketika beliau menghidupkan kembali sholat malam di bulan Romadhon secara berjamaah. Beliau berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Dengan dalil ini, mereka menyimpulkan ada yang namanya bid’ah hasanah.

Walillahilhamd, bangkitlah para ulama pembela sunnah meluruskan masalah ini. Intinya, istilah bid’ah hasanah itu sendiri sebenarnya adalah bid’ah karena sabda Rosululloh secara tegas mengatakan “setiap bid’ah adalah sesat.” Ada dua kemungkinan mengenai masalah ini.

Pertama : kemungkinan tidak termasuk bid’ah tapi dianggap oleh manusia sebagai bid’ah.

Kedua : kemungkinan termasuk bid’ah, yang tentu saja sayyi’ah (buruk), tetapi manusia tidak mengetahui keburukannya.

Mengenai masalah mobil dan lain-lain, jelas ini bukan bid’ah secara syariat, melainkan bid’ah secara bahasa karena termasuk masalah duniawi. Dalil-dalil yang menyebutkan ancaman atas perbuatan bid’ah secara tegas menyebutkan bahwa bid’ah yang terlarang adalah bid’ah dalam hal agama (bid’ah dalam pengertian syari’at). Jadi, hal ini masuk ke dalam kemungkinan pertama.

Mengenai ucapan Umar, perlu diketahui bahwa beliau tidak membuat syariat baru dengan melaksanakan sholat tarwih berjamaah. Buktinya, di zaman Rosululloh pun hal ini telah dilakukan. Memang Rosululloh tidak selalu sholat berjamaah, tetapi beliau mendiamkan (jangan lupa, diamnya beliau (taqrir) juga termasuk dalam definisi sunnah) para shohabat yang selalu sholat tarwih berjamaah. Ini mengindikasikan bahwa sholat tarwih berjamaah adalah bagian dari syariat. Bahkan, sebenarnya banyak pula dalil yang menyebutkan keutamaan orang-orang yang sholat malam bersama imam di malam bulan Romadhon. Artinya, apa yang Umar r.a maksudkan adalah bid’ah dalam pengertian bahasa (salah satu arti bid’ah dalam bahasa Arob adalah menghidupkan kembali apa yang telah dilupakan oleh kebanyakan manusia). Berarti, kasus ini juga masuk ke dalam kemungkinan pertama.

Sedangkan peringatan hari kesekian dari kematian (dan segala hal lain yang tidak disyariatkan tetapi dinisbatkan dengan ibadah) masuk ke dalam kemungkinan kedua. Artinya, sebenarnya hal tersebut buruk meskipun kebanyakan manusia menganggapnya baik.

Ibnu ‘Umar berkata:  “Artinya : Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun manusia memandang baik.” [Riwayat al-Laalika-iy dalam Syarah Ushuul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 126), Ibnu Baththoh al-‘Ukbary fil Ibaanah (no. 205). Lihat ‘Ilmu Ushulil Bid’ah (hal. 92).]

bersambung ke bagian tiga


Tinggalkan komentar

Kategori